ADIKSI GAME PADA REMAJA DAN UPAYA PENCEGAHANNYA


Akhir-akhir ini banyak ayah/bunda yang mengeluhkan anak remajanya yang suka menghabiskan waktunya untuk bermain game. Beragam nasehat sudah disampaikan, namun seolah masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Kasus-kasus adiksi game dan akibat-akibatnya semakin banyak menghiasi ruang berita kita. Seperti yang terjadi di Guangdong-China pada tanggal 1 Oktober 2017, seorang perempuan berusia 21 tahun mengalami kebutaan pada mata kanannya setelah bermain game Honour of Kings 24 jam non-stop (Channel Newsasia, 2017). Pada kasus-kasus sebelumnya, adiksi game bisa sampai menyebabkan kematian. Di Manila, Filipina, seorang remaja 15 tahun, Jayson Chua, bunuh diri karena mengalami koneksi internet yang lambat saat bermain Dota 2 (Philippinews, 2014). Di Lousiana,USA seorang anak laki-laki berusia 8 tahun menembak dan membunuh neneknya, setelah bermain game kekerasan (CNN, 2013). Di Indonesia, kasus adiksi banyak menyebabkan siswa membolos sekolah, seperti yang terjadi di Dumai, belasan pelajar SMA diamankan karena membolos untuk bermain game (Republika, 2016).
Dampak Buruk
Dampak buruk adiksi game meliputi semua dimensi individu, baik fisik, psikis, sosial dan kognitifnya. Dampak buruk pada fisik bisa berupa serangan epilepsi, nyeri pergelangan tangan, nyeri leher, kapalan, jari mati rasa, gangguan tidur, dan handarm vibration syndrome (Griffiths, Kuss, & King, 2012). Dampak psikis antara lain bertambahnya stress, menurunnya well-being, agresifitas, withdrawal (Griffiths, Kuss, & King, 2012) dan self esteem (Toker & Baturay, 2016). Selain itu dampak pada kognitif berupa menurunnya performansi akademik (Toker&Baturay, 2016). Sedangkan penelitian Pratiwi & dkk. (2012) dan Rahmadina (2014) menyebutkan bahwa adiksi game memiliki hubungan terbalik dengan keterampilan sosial pelaku.
Diagnosa Adiksi Game
Dalam DSM V, adiksi game disebut sebagai Internet Gaming Disorder (IGD), merupakan penggunaan internet terus menerus dan berulang, serta terlibat dalam permainan (game), kebanyakan dengan pemain lainnya, yang menyebabkan kerusakan dan gangguan klinis yang signifikan, sebagaimana yang diindikasikan dengan 5 hal berikut atau lebih selama 12 bulan, yaitu keasyikan dengan permainan internet, withdrawal, toleransi (untuk bermain dengan waktu yang lama), tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak bermain, hilangnya minat pada hal lain, sebagai pelarian dari mood yang negative dan hilangnya hubungan dengan keluarga, sosial, pendidikannya serta karirnya (American Psychiatric Association, 2013).
Prevalensi
Adiksi game ini banyak dialami oleh remaja (usia 15-19 tahun), dengan prevalensi 8,4% untuk laki-laki dan 4,5 % untuk perempuan(American Psychiatric Association, 2013). Prevalensi ini semakin besar yaitu 0,7%-15,6% pada tahun 2016 (Feng,dkk, 2017). Data ini menunjukkan bahwa remaja merupakan kelompok usia yang berisiko adiksi game. Hal tersebut di tunjang dengan fakta tentang data pengguna internet di Indonesia, dimana dari 132,7 pengguna internet, 24,4 juta atau 18,4% diantaranya adalah remaja berusia 10-24 %; dan dari 24,4 juta tersebut 75% sudah berinteraksi dengan internet (Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia, 2016). Fakta  ini menjadi dasar perlunya upaya-upaya untuk mencegah adiksi game pada remaja
Keluarga sebagai Faktor Risiko
                Keluarga adalah lingkungan terdekat dimana seorang individu tumbuh dan berkembang. Hyun (2015) menyebutkan rendahnya dukungan dari anggota keluarga berhubungan dengan adiksi game online. Hal senada juga diungkapkan Zhu, dkk (2015) yang menyebutkan bahwa rendahnya kualitas hubungan antara orang tua dengan remaja bisa menjadi prediktor  atau faktor risiko remaja mengalami IGA. Sedangkan Toker & Baturay (2016) menemukan bahwa ibu bekerja dapat menambah risiko adiksi game. Dalam konteks Indonesia, Efendi (2014) menyebutkan empat faktor yang menyebabkan anak bermain game online, tiga diantaranya terkait dengan keluarga, yaitu komunikasi yang kurang maksimal, pengawasan orang tua yang kurang dan kesalahan dalam pola asuh. Oleh karena itu diperlukan adanya usaha pencegahan adiksi game berbasis pada keluarga. Hal ini diperkuat dengan Xu, Turel & Yuan (2012), yang menyebutkan salah satu faktor preventif yang harus ditekankan untuk mengurangi kecenderungan adiksi game adalah monitoring aktif orang tua.
Kulwapp adiksi game

Berdasarkan tingginya prevalensi pada remaja dan temuan bahwa keluarga disebut sebagai faktor risiko adiksi game, maka perlu ada program prevensi yang ditujukan untuk orang tua-orang tua yang memiliki anak remaja, khususnya remaja laki-laki di daerah perkotaan. Masyarakat perkotaan merupakan masyarakat yang lebih rawan karena akses internet yang lebih banyak daripada di pelosok pedesaan atau daerah tertinggal. Karena akses internet lebih banyak, para orang tua di daerah perkotaan juga lebih melek internet. Oleh karena itu akan lebih efektif jika program psikoedukasi pencegahan adiksi game diberikan melalui media online, yaitu kulwapp.

                Kulwapp (kuliah via whatsapp) merupakan tren baru dalam penyebaran informasi. Dengan berkembangnya teknologi informasi yang sangat pesat, maka kecenderungan gaya belajar di era ini pun berubah. Siemens (2005) mengemukakan sebuah teori belajar baru yaitu konektifisme, yang merupakan terobosan teori belajar yang menitikberatkan keterhubungan individu yang satu dengan individu yang lain secara virtual. Keterhubungan secara virtual inilah yang kemudian mendasari adanya program-program prevensi berbasis internet.
Kulwapp ini dikemas dengan konsep Family to Family atau dari keluarga untuk keluarga. Program ini di fasilitatori oleh relawan terlatih yang putranya juga pernah mengalami adiksi game dan dinyatakan sudah sembuh. Tugas fasilitator ini adalah sebagai pemateri kulwapp, sekaligus sebagai admin grup. Dia bertugas membuat grup whatsapp dan kemudian menyebarkan broadcast program. Ayah/bunda bisa bergabung melalui link yang sudah tersedia dalam broadcast. Satu grup whatsapp terdiri dari 1 fasilitator dan 10 member. Setelah semua sesi selesai, akan di follow up dalam sebuah grup besar, dimana ayah/bunda bisa sharing pengalaman dan progress keluarga serta dapat terus update mengenai informasi seputar adiksi game. Jika dalam pelaksanaan program ada member yang membutukan intervensi lebih lanjut, fasilitator akan memberikan rujukan kepada psikolog.
FtF ini merupakan adopsi dari program FtF dari NAMI (National Alliance of Mental Illness) USA. Program FtF NAMI ditujukan untuk memberikan psikoedukasi kepada keluarga/significant other dengan penderita mental illness (NAMI, 2017). Kulwapp FtF adiksi game ini juga bertujuan untuk memberikan psikoedukasi kepada keluarga dengan remaja berisiko adiksi game. Diharapkan setelah mengikuti program ini, kualitas hubungan orang tua dengan anak-anak remajanya terjalin harmonis dan pada akhirnya bisa mencegah adiksi game.
Materi yang disampaikan dalam kulwapp ini berdasar pada temuan Madrackova & Gabhrelik (2016) mengenai skill dasar yang diperlukan orang tua dalam mencegah adiksi game, yaitu keterampilan yang mendorong hubungan yang lebih dekat antara orangtua-anak, dan skill yang berhubungan dengan pengawasan penggunaan internet.  Skill ini kemudian dijabarkan dalam 9 sesi kulwap yaitu sesi 1 tim building antar member, sesi 2 gaya pengasuhan orang tua, sesi 3 komunikasi efektif dalam keluarga, sesi 4 kesehatan mental keluarga, sesi 5 evaluasi sesi 2-4, sesi 6 generasi milenial di era digital, sesi 7 internet sehat untuk anak, sesi 8 Seluk beluk dunia game online, sesi 9 evaluasi sesi 6-8.
Psikoedukasi melalui media online terbukti efektif dalam penyebaran informasi.  Sanders, et al (2012) menyebutkan bahwa program parenting Triple P secara online signifikan meningkatkan kemampuan pengasuhan orang tua. Enebrink, et al (2012) menyebutkan program Internet Based Parent-Training Program for Children with Conduct Problem untuk orang tua menurunkan intensitas kenakalan anak. Na&Chia (2008) menyebutkan bahwa melalui website “Parenting portal, KidzGrow Online” orang tua secara signifikan meningkatkan keterampilan pengasuhan. Selain itu, temuan Welch (2016) menyebutkan bahwa intervensi menggunakan media sosial yang interaktif dan infomatif efektif untuk menambah informasi terkait sikap dan perilaku gaya hidup sehat.
Kesimpulan
Adiksi game adalah sebuah penyakit psikologis yang merusak para pelakunya baik dari segi fisik, psikis, sosial dan kognitifnya. Keluarga adalah salah satu faktor risiko yang sekaligus bisa sebagai faktor protektif dalam upaya mencegah terjadinya adiksi game pada remaja. Upaya pencegahan tersebut, salah satunya bisa melalui program kulwapp Family to Family. Dengan kesembilan sesi dalam program tersebut diharapkan hubungan antara ayah/bunda dengan putra/inya bisa lebih harmonis, pengetahuan ayah/bunda mengenai game online bisa meningkat, dan pada akhirnya adiksi game bisa dikurangi/dicegah.

Daftar Pustaka

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Arlington.
Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (2016) Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia. Diakses pada tanggal 25 September 2017 di https://www.apjii.or.id/.
Channel Newsasia (2017) Chinese woman goes blind in one eye after mobile gaming marathon. Diakses pada tanggal 03 Oktober 2017 di http://www.channelnewsasia.com/news/asiapacific/chinese-woman-goes-blind-in-one-eye-after-mobile-gaming-marathon-9286632
CNN. (2013) Police: 8-year-old shoots, kills elderly caregiver after playing video game. Diakses pada tanggal 03 Oktober 2017 di http://edition.cnn.com/2013/08/25/us/louisiana-boy-kills-grandmother/index.html
Efendi, Novian A. (2014) Faktor Penyebab Bermain Game Online Dan Dampak Negatifnya Bagi Pelajar (Studi Kasus pada Warung Internet di Dusun Mendungan Desa Pabelan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo). Skripsi Tidak Diterbitkan, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Enebrink, Pia, Jens Högström, Martin Forster, & Ata Ghaderi (2012) Internet-based parent management training: A randomized controlled study. Behaviour Research and Therapy 50, 240-249.
Feng, W., Ramo, Danielle E., Chan, Steven R., & Bourgeois, James A. (2017) Internet gaming disorder: Trends in prevalence 1998–2016. Addictive Behaviours, 17-24.
Griffiths, Mark D., Kuss, Daria J. & King, Daniel L. (2012) Video Game Addiction: Past, Present and Future. Current Psychiatry Reviews, Vol. 8, no. 4.
Hyun, G.J., Han, D.H., Lee, Y.S., Kang, K.D., Yoo, S.K., Chung, U., & Renshaw, P.F. (2015) Risk Factors Associated With Online Game Addiction: A Hierarchical Model. Computers in Human Behavior, 48, 706–713
Na, Jin-Cheon, & Chia, Shee Wai (2008) Impact of online resources on informal learners: Parents’ perception of their parenting skills. Computers & Education 51, 173–186
Modrackova, P., Gabrhelik, R. (2016). Prevention of Internet addiction: A Systematic Review. Journal of Behavioral Addiction. 5(4), pp. 568-579
Philippinews (2014) Kid Commits Suicide After Getting Penalized (Low Priority) In Dota 2. Diakses pada tanggal 03 Oktober 2017 di http://philippinews.altervista.org/kid-commits-suicide-getting-penalized-low-priority-dota-2/
Pratiwi P.C., Andayani T.R. & Karyanta N.A. (2012) Perilaku Adiksi Game-online Ditinjau dari Efikasi Diri Akademik dan Keterampilan Sosial pada Remaja di Surakarta. Jurnal Ilmiah Psikologi Candrajiwa, Vol. 01, No.2.
Rahmadina, Annisa (2014) Hubungan Antara Kecanduan Game Online dengan Keterampilan Sosial pada Remaja. Skripsi Tidak Diterbitkan, Universitas Gadjah Mada.
Republika. (2016). Bolos Sekolah, Belasan Pelajar Terjaring Saat Main Game Online. Diakses pada tanggal 03 Oktober 2017 di http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/02/25/o32r9u280-bolos-sekolah-belasan-pelajar-terjaring-saat-main-game-online
Sanders MR, Baker S, & Turner KMT. (2012) A randomized controlled trial evaluating the efficacy of Triple P Online with parents of children with early-onset conduct problems. Behav Res Ther; 50: 675-84.
Siemens, G. (2005). Connectivism : A Learning Theory for Digital Age. Dapat diakses di http://www.elearnspace.org/Articles/connectivism.htm
The National Alliance on Mental Illness (2017) NAMI Family-To-Family. Diakses pada tanggal 26 September 2017 di https://www.nami.org/Find-Support/NAMI-Programs/NAMI-Family-to-Family
Toker, Sacip & Baturay,  Meltem Huri (2016) Antecedents and consequences of game addiction. Computers in Human Behavior, Vol. 55, Page 668-679.
Welch V., Petkovic J., Pardo J. Pardo, Rader, T., Tugwell, P. (2016) Interactive social media interventions to promote health equity: an overview of reviews. Health Promot Chronic Dis Prev Can. 36 (4): 63–75.
Xu, Z., Turel, O., & Yuan, Y. (2012) Online Game Addiction Among Adolescents: Motivation And Prevention Factors. European Journal of Information Systems, 21, 321–340
Zhu, J., Zhang, W., Yu, C., & Bao, Z. (2015) Early Adolescent Internet Game Addiction In Context: How Parents, School, And Peers Impact Youth.Computers in Human Behavior, 50 159–168.

               
               



Komentar

  1. Casinos in Iowa - JT Hub
    Casinos in Iowa. Casinos in Iowa. Best online 김제 출장마사지 casinos in 익산 출장샵 Iowa. 나주 출장샵 The largest 제천 출장마사지 casinos in the country allow players 전라남도 출장마사지 to play online slots in the

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTERVENSI-PREVENSI REMAJA ADIKSI/KECANDUAN GAME ONLINE (FAKTOR RISIKO ORANG TUA)

REMAJA DAN NARKOBA: PSIKOEDUKASI DENGAN MEDIA AUDIO-VISUAL SEBAGAI PROGRAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA REMAJA