Mengapa seorang anak menjadi pelaku perundungan? Pola asuh orangtua memiliki peran dalam membentuk perilaku anak
Kezia Satyawati - 407568
Akhir-akhir
ini di media sosial beredar sebuah video seorang anak SD di Ogan Komering Ilir,
Sumatera Selatan, yang dipukuli oleh beberapa orang temannya. Korban dipukuli
hingga menangis histeris, tetapi hal tersebut tidak membuat para pelaku
menghentikan aksinya. Tampak beberapa anak menyaksikan kejadian tersebut,
tetapi tidak melakukan apa-apa, hanya menonton. Fenomena tersebut kemudian
memunculkan pertanyaan, bagaimana mungkin anak SD dapat melakukan hal tersebut?
Perundungan
bukanlah suatu fenomena baru, berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebanyak 84% anak di Indonesia mengalami
kekerasan di sekolah. Prosentase tersebut lebih tinggi dari Vietnam (79%),
Nepal (79%), Kamboja (73%), dan Pakistan (43%). Tingginya tingkat perundungan
menunjukkan bahwa fenomena ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Orangtua
harus waspada apabila anak menunjukkan perilaku seperti sulit berkonsentrasi di
sekolah, sering membolos (Smith, 2000), cemas, kesepian, memiliki harga diri
yang rendah (Hawker & Boulton, 2000), tidak dapat tidur dengan nyenyak,
mengompol, sakit kepala, dan sakit perut (Williams, Chambers, Logan, &
Robinson, 1996). Perilaku tersebut dapat menjadi pertanda bahwa anak menjadi
korban perundungan.
Pola Asuh Otoriter
Mengapa
seorang anak dapat menjadi pelaku perundungan? Perundungan merupakan fenomena
yang kompleks, banyak hal dapat yang menyebabkan seorang anak menjadi pelaku, salah
satunya adalah pola asuh orangtua. Orangtua merupakan lingkungan pertama dalam
kehidupan anak, sehingga sangat berpengaruh dalam proses tumbuh kembangnya. Kebanyakan
anak yang menjadi pelaku perundungan berasal dari keluarga dengan pola asuh
yang otoriter. Orangtua dengan pola asuh otoriter akan menghukum anaknya dengan
teriakan atau pukulan ketika anak melakukan kesalahan (Baldry & Farrington,
2005). Hal yang tidak banyak disadari oleh orangtua adalah bahwa sejak masih
kanak-kanak, anak telah mempelajari perilaku agresif dalam keluarganya. Hukuman
fisik dan ancaman yang diberikan oleh orangtua dapat memicu munculnya sifat agresif
pada anak (Eron dkk, 1991). Dengan kata
lain, anak-anak menjadi agresif karena meniru perilaku orangtuanya. Perilaku
agresif tersebut kemudian mempengaruhi hubungan anak dengan teman-temannya dan
orangtuanya. Penelitian oleh Rigby (1994) menunjukkan bahwa perilaku
perundungan berhubungan dengan pola asuh yang buruk, dimana orangtua tidak
mendukung anaknya dan tidak ada kehangatan atau keharmonisan dalam keluarga. Hal
yang lebih meresahkan adalah adanya sebuah penelitian longitudinal yang
menunjukkan bahwa perilaku perundungan dapat diturunkan pada generasi
selanjutnya. Penelitian tersebut (Farrington, 1993) menunjukkan bahwa anak-anak
yang menjadi pelaku perundungan cenderung tetap melakukannya hingga dewasa,
bahkan anak-anaknya kelak juga memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku.
Pola Asuh Demokratis
Lalu
pola asuh seperti apa yang bisa menghindarkan anak dari melakukan perundungan? Anak
yang merasa aman dalam keluarganya dan memiliki hubungan yang baik dengan
orangtuanya memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk melakukan perundungan. Pola
asuh yang demokratis mendorong anak untuk bertumbuh dan berkembang menurut
caranya sendiri serta mendengarkan pendapat anak dan menghargai nilai-nilai
anak, tetapi orangtua tetap memberikan dukungan dan bimbingan (Baldry &
Farrington, 2005). Orangtua yang suportif dan terlibat aktif dalam pendidikan
anak, membuat anak menjadi berani untuk menghadapi tantangan, serta membantu
mereka dalam mengembangkan keterampilan sosial (Smith, & Myron-Wilson,
1998).
Informasi
di atas menjadi bekal bagi para orangtua untuk mencegah penyebaran perilaku
perundungan yang akhir-akhir ini semakin marak terjadi. Pencegahan perundungan
sebaiknya dimulai dari keluarga karena keluarga merupakan lingkungan pertama anak.
Sedapat mungkin orangtua menjadi role
model yang baik dan menanamkan nilai-nilai yang positif kepada anak. Dengan
demikian anak dapat memiliki keterampilan sosial yang baik.
Daftar Pustaka
Baldry,
A. C., & Farrington, D. P. 2005. Protective factors and moderators of risk
factors in adolescence bullying. Social
Psychology of Education, 8, 263-284.
Eron,
L. D., Heusmann, L. R., & Zelli, A. 1991. The role of parental variables in the learning of aggression. The
development and treatment of childhood aggression. New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates; pp. 169-188.
Farrington,
D. P. 1993. Understanding and preventing
bullying. Crime and justice. Chicago: University of Chicago Press; pp.
381-458.
Hawker,
D. S. J., & Boulton, M. J. 2000 twenty years’ research on peer
victimization and psychosocial maladjustment: A meta-analytic review of
cross-sectional studies. Journal of Child
Psychology and Psychiatry, 41, 441-455.
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia. Indonesia Peringkat Tertinggi Kasus Kekerasan di
Sekolah. 2017. Diakses tanggal 17 Desember 2017. http://www.kpai.go.id/berita/indonesia-peringkat-tertinggi-kasus-kekerasan-di-sekolah/
Rigby,
K. 1994. Psychosocial functioning in families of Australian adolescent
schoolchildren involved in bully/victim problems. Journal of Family Therapy, 16, 173-187.
Smith,
P. K. 2000. Bullying and harassment in schools and the rights of children. Children & Society, 14, 294-303.
Smith,
P. K & Myron-Wilson, R. 1998 parenting and school bullying. Clinical Child Psychology and Psychiatry, 3,
405-411.
William,
K., Chambers, M., Logan, S., & Robinson, D. 1996. Association of common
health symptoms with bullying in primary school children. British Medical Journal, 313, 17-19.
Komentar
Posting Komentar