Menghindari terjadinya kekerasan seksual pada anak
Ekasari Lieharyani L.
16/407558/PPS/3326
Kekerasan
pada anak atau yang sering disebut child
abuse merupakan perbuatan disengaja yang melukai, membahayakan, dan
menyebabkan kerugian fisik, seksual, emosional atau psikis, yang dapat dilakukan
oleh pihak lain maupun orangtua anak tersebut (Adawiah, 2015). Seperti yang
telah banyak diberitakan, kasus kekerasan pada anak dalam beberapa tahun belakangan
ini semakin meningkat, terutama kasus kekerasan seksual terhadap anak. Setyawan, 2017, menuliskan dalam website resmi Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengenai data
kasus kekerasan seksual yang diungkapkan oleh Komisioner KPAI Jasra Putra. Pihak
KPAI menemukan 218 kasus kekerasan seksual anak pada tahun 2015. Sementara pada
tahun 2016, KPAI mencatat terdapat 120 kasus kekerasan seksual terhadap
anak-anak. Kemudian di tahun 2017, tercatat sebanyak 116 kasus. Diungkapkan
juga oleh Jasra Putra dalam data KPAI yang merupakan pelakunya kebanyakan adalah
orang terdekat anak seperti ayah tiri maupun ayah kandung, keluarga terdekat,
dan temannya.
Masyarakat secara umum berpikir bahwa kekerasan seksual pada
anak banyak menimpa pada anak dengan jenis kelamin perempuan, namun tidak
demikian yang terjadi sebenarnya. Kekerasan seksual
pada anak tidak memandang korbannya anak laki-laki ataupun anak perempuan. Anak
perempuan maupun laki‐laki memiliki kesempatan yang sama beasr untuk menjadi
korban kekerasan seksual. Saat mereka telah menjadi korban maka mereka akan mengalami
sejumlah masalah yang sama antara lain trauma fisik dan psikologis yang
berkepanjangan, kehilangan semangat hidup, membenci lawan jenis dan memiliki
keinginan untuk balas dendam (Dube et al. dalam Gail Hornor, 2010). Hendrian, 2017, menuliskan dalam website resmi Komisi
Perlindungan Anak Indonesia pada data yang diungkapkan
Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati, korban
anak berjenis kelamin laki-laki adalah sebesar 56,46%. Angka tersebut lebih
tinggi dibandingkan korban anak perempuan yang sebesar 43,54%.
Sartomo
dalam Adawiah, 2015, menuliskan tiga metode
dalam pencegahan (prevensi) kekerasan terhadap anak yaitu: pertama, Primary
prevention. Pendekatan ini lebih ditujukan kepada seluruh anggota
masyarakat dan dilakukan sebelum child abuse dan child
neglected terjadi. Cara-cara yang efektif
untuk melaksanakan metode ini dapat dimulai pada tingkat awal melalui lembaga sekolah.
Program prevensi melalui lembaga sekolah dapat dimulai sejak sekolah dasar.
Kedua, Secondary prevention. Sasaran
metode prevensi sekunder adalah individu-individu yang diperkirakan sangat
mungkin memiliki kesulitan menjadi orang tua yang baik, karenanya sangat
membutuhkan pelayanan. Prevensi sekunder ditujukan terutama kepada orang tua
yang pernah melakukan perlakuan salah baik fisik ataupun non-fisik dan saat ini
memiliki rasa percaya diri yang rendah (low
self-esteem), tinggal terisolasi, dan juga mereka yang berada pada taraf
hidup miskin. Metode prevensi tidak hanya ditujukan kepada keluarga saja tetapi
juga masyarakat umum. Ketiga, Tertiary Prevention. Bentuk prevensi jenis
ini dapat dikategorikan sama dengan treatment, yaitu suatu kondisi
dimana kasus-kasus child abuse dan child neglected sudah terjadi,
sehingga bentuk prevensi adalah suatu tindakan yang ditujukan kepada orang tua
bersangkutan dalam upaya mencegah terulangnya kembali tindakan kekerasan
terhadap anak (child abuse).
Dalam
penugasan kali ini akan menerangkan mengenai salah satu tindakan pencegahan
terjadinya kekerasan seksual pada anak yakni pengajaran personal safety skills kepada anak. Bagley dan King, 2004 (dalam
Mashudi dan Nur’aini, 2015) menjabarkan personal
safety skills atau keterampilan keselamatan pribadi merupakan seperangkat
keterampilan yang perlu dikuasai oleh anak sehingga dapat menjaga keselamatan
dirinya dan terhindar dari tindakan kekerasan seksual. Personal safety skills dapat diajarkan melalui film, diagram,
cerita, permainan dan pesan-pesan dari guru maupun orangtuanya agar sang anak
merasa memiliki tanggungjawab dalam melindungi dirinya sendiri dari predator. Personal safety skills terdiri atas tiga komponen keterampilan yang
dikenal dengan slogan 3R yakni Recognize,
Resist dan Report. Mashudi dan
Nur’aini (2015) menjabarkan secara lebih lengkap mengenai ketiga komponen
tersebut sebagai berikut :
Komponen
pertama Recognize, merupakan
penanaman kemampuan anak untuk mengenali ciri-ciri orang yang berpotensi melakukan
kekerasan seksual (predator). Pada
komponen recognize anak diajari agar mengenali
bagian-bagian tubuh pribadi yang tidak boleh disentuh oleh sembarang orang, dan
bagaimana mengatakan tidak saat orang lain melakukan sentuhan tidak aman (unsafe touch), menyuruh membuka baju, memperlihatkan
bagian tubuh pribadi, menyuruh anak melihat bagian tubuh pribadi sang pelaku
dan memperlihatkan konten seksual. Anak diajarkan atas hak-hak pribadi terhadap
tubuhnya, serta bagaimana mereka boleh menentukan siapa yang boleh dan tidak
boleh menyentuh bagian tubuhnya, terutama yang sensitive atau yang sangat pribadi.
Komponen
kedua Resist, adalah penanaman kemampuan
anak untuk bertahan dan menolak perlakuan atau tindakan kekerasan seksual,
misalnya berteriak minta tolong, memberitahukan orang lain disekitarnya bahwa
orang yang menggandengnya bukanlah ayah atau ibunya. Dalam komponen resist anak diajari untuk
mengidentifikasi sejumlah tindakan yang dapat dilakukan ketika dirinya berada
pada situasi yang memungkinkan terjadinya tindakan kekerasan seksual. Selanjutnya
anak juga diajarkan agar mengabaikan rayuan dan bujukan dari orang yang berpotensi
untuk melakukan kekerasan seksual dengan mengatakan “Tidak!” atau “Stop!” secara
lantang dan tegas pada orang yang mencoba melakukan kekerasan seksual pada
mereka, melakukan tindakan perlawanan seperti memukul, menggigit, menendang,
melarikan diri dari pelaku kekerasan seksual dan berteriak meminta pertolongan
pada orang dilingkungan sekitar.
Komponen
ketiga Report, anak diajarkan agar
mampu bersikap terbuka dan berani melaporkan perilaku kurang menyenangkan
secara seksual ataupun kekerasan seksual dari orang dewasa yang dilakukan
kepada dirinya, bersikap terbuka kepada orangtua agar orangtuanya dapat
membantu kondisi anak tersebut dan mampu melaporkan pelaku pada orang dewasa
atau lembaga lain yang berkepentingan dan dipercaya oleh anak untuk membantunya
dalam menghindari perilaku tersebut.
Mashudi
dan Nur’aini (2015) menjelaskan secara lebih lanjut bahwa orangtua, guru maupun
orang dewasa lainnya harus membantu anak belajar untuk tidak mau diajak pergi
ke suatu tempat oleh orang asing dan menolak tumpangan dari orang yang tidak
dikenal. Akan tetapi anak juga perlu diajari bahwa tidak semua orang dewasa
berbahaya, ada ciri-ciri khusus orang yang berniat jahat dan tidak semua orang
yang menyentuh daerah terlarang memiliki niat jahat, ada yang bermaksud
membersihkan kotoran, misalnya pengasuh, orangtua atau guru di sekolah, dan
juga memberikan pengobatan seperti dokter atau perawat. Dalam pengajaran personal safety skills, anak perlu
didorong untuk : (1) bicara pada orang dewasa yang dipercaya ketika dirinya
merasa tidak nyaman; (2) pergi dengan orang dewasa yang dikenal atau yang
dipercaya baik ketika berjalan kaki atau naik mobil; (3) bertanya pada orang
dewasa yang dipercaya ketika merasa tidak yakin akan bagaimana melakukan suatu
hal. Pengajaran personal safety skills
juga harus menggunakan pendekatan yang positif dimana anak belajar merasa
nyaman terhadap dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Hull,
1986 (dalam Mashudi dan Nur’aini, 2015) menerangkan pentingnya penanaman personal safety skills tanpa menimbulkan
ketakutan tidak berdasar dalam diri anak. Anak yang hanya diajari menghindar
dari orang dewasa asing akan cenderung merasa takut pada orang dewasa yang
tidak dikenalnya, lari dari orang baru di sekolah, menolak diperiksa paramedis,
ketakutan saat orangtuanya menyuruh membuka baju demi kepentingan pengobatan
atau hanya untuk mandi. Ketakutan tidak berdasar bukan hanya menghambat proses
belajar, tapi juga membuat anak lebih rentan menjadi korban kejahatan.
Daftar Pustaka
Adawiah,
R., A., (2015) Upaya Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak. Jurnal Keamanan Nasional Vol. 1 No. 2 2015
Hornor,
G. (2010). Child Sexual Abuse: Consequences and Implication.
Hendrian,
D., (2017). Kekerasan Seksual pada Anak Laki-laki Lebih Tinggi dari Perempuan. Diambil kembali dari kpai.go.id :
http://www.kpai.go.id/berita/kekerasan-seksual-pada-anak-laki-laki-lebih-tinggi-dari-perempuan/
(diakses tanggal 15 Desember 2017).
Mashudi,
E., A., dan Nur’aini. (2015). Pencegahan
Kekerasan Seksual pada Anak Melalui Pengajaran Personal Safety Skills. Metodik Didaktik Vol.9, No. 2,
Januari 2015
Setyawan,
D., (2017). Tahun 2017, KPAI Temukan 116 Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak.
Diambil kembali dari kpai.go.id : http://www.kpai.go.id/berita/tahun-2017-kpai-temukan-116-kasus-kekerasan-seksual-terhadap-anak/ (diakses tanggal 15 Desember 2017).
Komentar
Posting Komentar