Siapa yang Berperan dalam Memutus Mata Rantai Tawuran Pelajar?


 oleh :Anissa Yuwantina

Tawuran pelajar merupakan fenomena kenakalan remaja yang tak kunjung surut. Setiap tahun bahkan setiap bulan media massa pasti merekam jejak perilaku tawuran pelajar di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan data dari KPAI pada tahun 2011-2016 (update 24 Oktober 2016) anak yang menjadi pelaku tawuran terdapat 441 orang dan anak yang menjadi korban tawuran 363 orang. Pada Desember 2017, melalui penelusuran portal media massa elektronik tercatat 2 peristiwa tawuran pelajar yang terjadi di depan Istana Bogor dan Tangerang yang menyebabkan meninggal dunia. Peristiwa tersebut baru beberapa kejadian yang terkena sorotan media dari banyaknya kasus mengenai tawuran pelajar. Seorang alumni SMK di Bogor menuturkan bahwa selama bersekolah pada setiap pulang sekolah hampir setiap hari menyaksikan kejadian tawuran pelajar seperti berupa saling melempar batu hingga saling tonjok dari jumlah pelajar dengan skala kecil sejumlah 5-15 siswa hingga skala besar 25 siswa lebih.
Dampak dari perilaku tawuran pelajar tersebut akan dirasakan oleh seluruh pihak. Dari sisi pelaku itu sendiri misalnya, risiko yang dihadapi dari perilaku yang dilakukan oleh mereka sendiri adalah luka-luka, tertangkap aparat kepolisian dan dipenjara hingga hilangnya nyawa orang lain maupun nyawanya sendiri. Kemudian dampak yang dirasakan masyarakat sebagai saksi dan tidak jarang sebagai korban adalah kemungkinan mengalami luka-luka hingga hilangnya nyawa serta menanggung beban secara psikologis merasakan khawatir karena merasa keamaan mereka terganggu dan rusaknya fasilitas umum. Bukan hanya itu, sekolah dan orangtua sebagai lingkungan pembelajar anak juga akan terkena dampaknya seperti, tercorengnya nama baik sekolah maupun orangtua dari anak yang bersangkutan. Ditinjau dari dampak tersebut, sebenarnya tidak ada manfaat yang didapat dari perilaku tersebut. Tetapi mengapa tawuran pelajar masih merajalela di negeri ini?
Alasan yang paling sering diungkapkan oleh para pelaku dibalik peristiwa tawuran adalah sebagai ajang balas dendam. Diawali ketika salah satu atau beberapa anggota memiliki masalah, maka masalah tersebut akan dianggap sebagai masalah bersama dan perilaku tawuran dilakukan sebagai jalan penyelesaian masalah tersebut. Setelah terjadinya tawuran masalah tidak secara langsung selesai, tidak adanya pihak yang mau mengalah dan dinyatakan salah akan memicu rencana balas dendam yang menimbulkan tawuran pelajar selanjutnya. Alumni merupakan agen penting dibalik terjadinya perilaku tawuran pelajar yang marak di Indonesia. Siswa pelaku tawuran yang dikeluarkan dari sekolah sebagai akibat dari tawuran atau yang telah lulus tidak begitu saja melenyapkan dendamnya terhadap sekolah lain atau kelompok yang menjadi lawannya. Mereka sebagai alumni secara terbuka atau sembunyi-sembunyi mengadakan kaderisasi dan menanamkan dendamnya terhadap siswa-siswa baru sehingga terbentuk tradisi untuk balas dendam dengan cara tawuran. Pihak yang berhubungan langsung dengan kondisi tersebut tentunya adalah sekolah. Kontrol sekolah yang kurang dan tidak adanya sanksi yang tegas menjadi faktor yang memperkuat perilaku tawuran pelajar. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dan siapa saja yang dapat berperan dalam mencegah tawuran pelajar?
Seluruh pihak yang terkait memiliki peran masing-masing dalam upaya mencegah perilaku tawuran pelajar semakin merajalela. Upaya pencegahan harus dilakukan dengan kerjasama yang baik dan berkaca dari faktor penyebab tawuran pelajar terjadi. Pada tawuran pelajar, pihak terkait (sekolah, orangtua dan masyarakat) harus mampu mengatasi alumni yang memunculkan tradisi untuk memutus mata rantai perilaku tawuran pelajar. Untuk menyusun upaya pencegahan tawuran pelajar dapat menggunakan prinsip prevensi primer yang diungkapkan Bloom (1996). Bloom (1996) menyatakan bahwa dalam menyusun sebuah program prevensi atau pencegahan terdapat 3 prinsip dasar yaitu: (1) meningkatkan kekuatan individu (increasing individual strengths) dan mengurangi kelemahan individu (decreasing individual limitation), (2) meningkatkan dukungan sosial (increasing social support) dan mengurangi tekanan sosial (decreasing social stresses), dan (3) meningkatkan kemudahan yang ditimbulkan dari lingkungan fisik (increasing physic environment resource) dan mengurangi kesulitan yang ditimbulkan dari lingkungan fisik (decreasing physic environment pressures).
Dalam tinjauan individu, sumber permasalahan dalam perilaku tawuran berkaitan erat dengan nilai-nilai kelompok yang dijunjung oleh setiap anggota atau siswa sehingga menimbulkan konformitas negatif. Konformitas merupakan perubahan perilaku sebagai akibat dari tekanan kelompok yang dapat dilihat melalui kecenderungan remaja untuk selalu menyamakan perilakunya dengan kelompok acuan (Myres, 2002). Konformitas sangat erat kaitannya dengan perilaku dalam situasi kelompok. Baron & Byrne (1994) juga menyatakan bahwa konformitas merupakan penyesuaian perilaku remaja untuk menganut norma kelompok acuan, menerima ide atau aturan-aturan kelompok yang mengatur cara remaja berperilaku. Melalui adanya konformitas yang cenderung negatif, nilai-nilai tiap individu melebur dan menyesuaikan dengan kepentingan kelompok dan menurut Sears (1994) salah satu faktor yang mempengaruhi konformitas adalah kekompakan. Tidak hanya konformitas negatif, perilaku agresif dan asertif siswa juga mampu menjadi faktor pemicu tawuran pelajar.
Myers (2002) menjelaskan perilaku agresif merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk melukai atau menyakiti orang lain, baik fisik maupun psikis. Perilaku agresif biasanya ditujukan melalui emosi amarah yang disertai dengan tindakan menyerang baik secara verbal maupun fisik. Meskipun perilaku agresif merupakan kondisi internal tetapi lingkungan sosial terutama pada pengaruh kelompok dapat memengaruhi perilaku agresif. Ketika siswa memiliki perilaku agresif dan tidak mampu menyalurkan emosinya dengan cara yang benar maka dapat melatarbelakangi perilaku tawuran pelajar sehingga emosi sebagai wujud dari perilaku agresif perlu dikendalikan. Selanjutnya adalah perilaku asertif, yaitu perilaku dimana individu bisa melakukan sesuatu atas dasar keinginannya sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain, menegakkan hak-hak pribadinya tanpa mengesampingkan hak-hak orang lain, serta mampu untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya secara nyaman (Alberti & Emmons, 2002). Ketika para siswa memiliki kemampuan untuk beperilaku asertif maka menerima nilai-nilai yang diberikan oleh lingkungannya akan berusaha disesuaikan dengan nilai yang dimilikinya sehingga konformitas negatif dapat dicegah.
Berangkat dari prinsip dasar tersebut upaya pencegahan yang dapat dilakukan terhadap sekolah dengan siswa yang berisiko melakukan tawuran pelajar melalui perubahan dalam sistem sekolah. Selama masa orientasi siswa (MOS) selain diberikan materi mengenai wawasan lingkungan sekolah, sekolah dan pihak lembaga pendidikan terkait bekerjasama untuk menyelenggarakan psikoedukasi dan pelatihan pendidikan karakter yang mampu mengurangi pemicu tawuran pelajar yaitu, konformitas negatif dan perilaku agresif serta meningkatkan perilaku asertif. Sekolah juga melakukan kontrol pada setiap kegiatan ekstrakulikuler siswanya terutama keterkaitan alumni. Keterlibatan struktur penyelenggaran pendidikan dalam merubah tatanan sistem perubahan tersebut sangat berperan dalam mengontrol lingkungan fisik melalui, mengeluarkan aturan-aturan untuk mendukung dan mengatur kegiatan sekolah yang menunjang pendidikan karakter serta sanksi yang tegas terhadap perilaku kenakalan remaja untuk membuat jera. Warga sekolah, keluarga dan masyarakat dapat berfungsi memberikan dukungan sosial untuk mengontrol perilaku tawuran pelajar, seperti adanya surat pengaduan kepada pihak sekolah terkait perilaku menyimpang siswanya. Kerjasama antara pihak sekolah, orangtua dan masyarakat diperlukan dalam menjalankan upaya pencegahan tawuran pelajar. Selain itu, pemahaman peran masing-masing pihak juga menjadi penentu keberhasilan upaya pencegahan untuk memutus mata rantai tawuran pelajar di Indonesia.

Referensi

Alberti, R. & Emmons, M. 2002. Your Perfect Right. Jakarta: Elex Media Komputindo.

 

Baron, R.A., & Byrne D. 1994. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Bloom, M. 1996. Primary Prevention Practices. Thousand Oaks, CA: SAGE.

KPAI. 2017. Data Kasus Pengaduan Anak berdasarkan Klaster Perlindungan Anak. Diakses pada 5 Desember 2017, di unduh melalui http://www.ucarecdn.com/2998b407-30a9-4949-ad65-7e6647bee610/ 

Myers, G.D. 2002. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Sears, D.O., dkk. 1994. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTERVENSI-PREVENSI REMAJA ADIKSI/KECANDUAN GAME ONLINE (FAKTOR RISIKO ORANG TUA)

ADIKSI GAME PADA REMAJA DAN UPAYA PENCEGAHANNYA

REMAJA DAN NARKOBA: PSIKOEDUKASI DENGAN MEDIA AUDIO-VISUAL SEBAGAI PROGRAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA REMAJA